Add caption |
Tak Senilai Dengan Sayap Nyamuk
“Hai manusia,
sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan
dunia memperdayakanmu, dan jangan (pula) penipu (setan) memperdayakanmu dalam
(mentaati) Allah,” (QS. Luqman: 33).
Dunia memang
indah. Warna-warni alamnya teramat sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Hiasan-hiasannya bagaikan magnet yang mampu menarik siapa pun di sekelilingnya.
Pesonanya bisa memukau mata manusia mana pun yang menatapnya dengan penuh
harap. Mereka pun berkhayal, andai dunia tak pernah berpisah.
Kenikmatan
yang berlimpah kadang bisa lebih berbahaya dari musibah terburuk apa pun.
Seorang hamba Allah mungkin bisa bertahan dengan siksaan dan penjara. Tapi,
belum tentu ia mulus dengan cobaan banyaknya harta. Berbahagialah hamba Allah
yang kaya dan senantiasa bersyukur.
Jangan
pernah bergeser dari niat yang ikhlas
Ikhlas
adalah dasar diterima atau tidaknya sebuah amal. Apalah arti sebuah prestasi
jika Allah swt. tidak menganggapnya sebagai sebuah bakti. Mungkin, manusia bisa
tertipu dengan hiasan-hiasan amal yang ditampilkan. Tapi, Allah Maha Tahu apa
yang tersembunyi di balik hati seorang hamba. Sekecil apa pun.
Keanggunan
hiasan dunia kadang membuat hati manusia tertipu, terpedaya. Buat siapa pun,
termasuk hamba Allah yang giat beramal. Bahkan, seorang sahabat Rasul sekali
pun. Kisah kurang amanahnya pasukan pemanah pimpinan Abu Ubaidah pada Perang
Uhud memberikan pelajaran tersendiri. Mereka siap menempuh bahaya seganas apa
pun. Tapi, tak sesiap itu ketika menatap lambaian ghanimah. Kenikmatan dunia
memperdaya mereka, merontokkan komitmen mereka terhadap perintah Rasul: “Apa
pun yang terjadi, kalian harus tetap di bukit ini!”
Tidak heran,
jika Allah swt. mengajarkan Thalut untuk menguji kesetiaan pasukannya dengan
sungai. Buat kondisi jazirah Arab yang panas, sungai merupakan perwujudan
standar dari bentuk kenikmatan dunia: menggiurkan di saat dahaga, menyejukkan
di saat panas terik membakar. Kalau pada takaran standar saja mereka rontok,
apatah lagi dengan kenikmatan yang lebih besar. Dan peperangan yang akan mereka
hadapi bukan sekadar menumbangkan Jalut, tapi mengendalikan diri dari hamparan
kenikmatan yang dimiliki Jalut. Mampukah?
Amru bin Ash
r.a. di saat menghadapi akhir hayatnya pun menyadari. Betapa ia yang pernah berjuang
bersama Rasulullah saw., menghunus pedang untuk membantai musuh-musuh Islam
dengan pengorbanan yang tidak kecil, pun akhirnya bisa terpedaya dengan
nikmatnya kekuasaan. Sebuah bagian dari kenikmatan dunia yang belum seberapa.
Tidak ada
yang mampu mengawasi jati diri seorang hamba kecuali Allah dan dirinya sendiri.
Dirinyalah yang tahu, apakah niatnya masih lurus. Atau, sudah bergeser. Dan
kelak, ia akan menuai amal yang pernah ia tanam. Bagus atau buruk.
Biasakan
untuk senantiasa memberi, bukan sebaliknya
Manusia
memang tak bisa lepas dari tarikan dunia. Karena, sebagian dirinya berasal dari
unsur tanah yang berarti bagian dari wujud dunia. Ia butuh makan, minum, tempat
tinggal, pasangan, keluarga, status sosial, dan sebagainya. Tinggal, bagaimana
ia mengelola keakrabannya dengan dunia.
Orang yang
akrab dengan sesuatu biasanya akan cinta. Dan cinta menjadikan seseorang sulit
dipisahkan dengan yang dicintai. Karena itu, sebelum seseorang terlanjur
mencintai dunia, ia harus melatih diri untuk secara rutin berpisah. Biar kecil,
tapi rutin.
Di situlah
mungkin, di antara hikmah Allah swt. mewajibkan infak buat orang-orang yang
beriman. Tak ada keuntungan sedikit pun buat Allah. Karena, tak satu pun benda
di alam ini melainkan dari-Nya. Semua manfaat itu akan kembali kepada manusia
itu sendiri.
Sekilas,
memberi terasa merugikan. Karena, ada bagian kepemilikannya yang dikorbankan
buat orang lain. Tapi, justru di situlah seorang yang mudah memberi akan
merasakan manfaat. Selain menyeimbangkan keakrabannya dengan dunia, memberi
adalah bentuk investasi lain buat kepemilikan yang lebih berharga dari materi
yang ia korbankan. Selain balasan dari Allah, ia akan mendapatkan nilai sosial
lebih. Harga sosialnya akan semakin mahal, tanpa ia sadari.
Allah swt.
berfirman, “Ada pun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan
bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak
akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 5-7)
Turunan dari
memberi begitu banyak. Rasulullah saw. sering menganjurkan kita untuk
bersedekah, memberi hadiah, menolong orang yang kesulitan dana, mengurus anak
yatim, dan lain-lain. Karena itu, bersikaplah untuk senantiasa siap memberi
buat orang lain. Bukan, berharap-harap apa yang mesti orang lain berikan kepada
kita.
Jadilah
seperti seorang penjual, bukan pembeli
Perbedaan
mendasar antara seorang penjual dengan pembeli adalah sikap mental. Seorang
penjual punya sikap pelayanan. Dan pembeli punya sikap memilih-milih, tidak
merasa perlu. Apa pun yang dituntut pembeli, penjual akan menyesuaikan diri.
Bahkan, ia harus siap dicela, dimarahi pembeli, tanpa memperlihatkan reaksi
ketidaksukaan. Apalagi perlawanan. Dan, manajemen modern membenarkan itu.
Begitu pun
dalam beramal. Kehidupan seorang hamba Allah di dunia ini tak lain adalah
seorang penjual. Dan Allahlah Si Pembeli. Pembeli bisa menentukan kriteria apa
saja atas barang yang dibeli. Dan penjual wajib memenuhi, jika dagangannya mau
terjual.
Allah swt.
berfirman dalam surah At-Taubah ayat 111, “Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan
Alquran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
Maka, bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.”
Tak ada satu
penjual pun yang santai-santai saja menyambut tawaran harga tinggi dari seorang
pembeli. Dan harga apalagi yang lebih tinggi dari surga yang penuh kenikmatan.
Dan satu lagi. Tak ada penjual yang sedemikian cintanya dengan dagangannya
sehingga ia tak akan pernah menjual. Teramat bodoh seorang penjual yang
bersikap, “Biarlah saya tak untung, yang penting barang dagangan yang saya
cintai tak terjual!” Saat itu, ia bukan lagi seorang penjual. Tapi, penikmat.
Seorang
hamba Allah yang cerdas tak akan terpedaya dengan dunia. Seindah apa pun, ia
tampil. Segemerlap apa pun dunia bersolek. Karena dalam pandangan Allah, dunia
tak senilai saya nyamuk. Rasulullah saw. bersabda, “Andaikan dunia itu senilai
dengan sayap nyamuk di sisi Allah, maka Allah tidak akan memberi minum kepada
orang kafir walaupun seteguk air dari dunia.” (HR. Tirmidzi)
0 komentar:
Posting Komentar