Selasa, 12 Februari 2013

Hakim dalam Pandangan Islam


KODE ETIK PROFESI HAKIM DALAM ISLAM

A.     Pengertian Etika Islam
Pemahaman terhadap eksistensi kode etik profesi hakim dalam wacana pemikiran hukum Islam adalah sistem etika Islam yang akan menjadi landasan berfikir untuk melihat nilai-nilai yang ada dalam kode etik profesi hakim.
Etika dalam Islam disebut dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa arab yang artinya perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan atau dalam pengertian sehari-hari disebut budi pekerti, kesusilaan atau sopan santun. Dengan demikian ahklak merupakan gambaran bentuk lahir manusia.[1]
Ahmad Amin memberikan definsi akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang harusnya dilakukan oleh sebagian manusia kepada manusia lainnya, menyatakan apa yang harus dituju oleh manusia dalam hal perbuatan mereka dan menunjukkan jalan apa yang harus diperbuat.[2]
Sedangkan menurut A. Mustofa akhlak dalam Islam (akhlak Islam) adalah merupakan sistem moral atau akhlak yang berdasarkan Islam, yakni bertitik tolak dari akidah yang diwahyukan Allah pada Nabi atau Rasul-Nya yang kemudian disampaikan pada umatnya.[3] Akidah tersebut diwujudkan menjadi tabiat atau sifat seseorang, yakni telah biasanya dalam jiwa seseorang yang benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan. Perbuatan tersebut terkadang berbentuk baik dan terkadang juga berbentuk buruk.
            Dengan demikian pada tahap pertama merupakan hasil pemikiran atau pertimbangan tetapi lama-lama menjadi melekat dan tanpa pertimbangan dan pemikiran. Dan dapat dikatakan akhlak merupakan manifestasi iman, Islam dan ihsan yang merupakan repleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri sendiri sendiri sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan interes tertentu.[4]
Sehingga Majid Fakhry menyebutkan etika atau akhlak adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan menjadi dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang.[5] Lebih ditegaskan lagi etika adalah merupakan hal keyakinan religius tertentu (I'tiqadat) untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka.[6] Dari pengertian di atas etika dan akhlak kalau dipahami adalah merupakan dua kata yang mempunyai kesamaan dan juga perbedaan, persamaanya adalah pada obyek yakni sama-sama membahas tentang baik dan buruk tingkah laku manusia sedangkan perbedaanya adalah pada parameternya yaitu etika terhadap akal, dan akhlak terhadap agama (al-Qur'an dan Hadis}).
            Dengan demikian etika mempunyai peranan penting karena lebih menekankan pada bentuk bathiniyah yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum (syari'ah) yang berbentuk bat}iniyah. Lebih jauh lagi merupakan aspek penting bagi penegak hukum, khususnya profesi hakim. Karena moralitas atau etika sebagai dorongan terhadap keadaan jiwa yang diwujudkan dalam melaksanakan profesinya. 

B.     Landasan Etika Profesi Dalam Islam
            Persoalan etika dalam Islam sudah banyak dibicarakan dan termuat dalam al-Qur'an dan al-Hadis. Etika Islam adalah merupakan sistem akhlak yang berdasarkan kepercayaan kepada tuhan, dan sudah tentu berdasarkan kepada agama, dengan demikian al-Qur'an dan al-Hadis adalah merupakan sumber utama yang dijadikan landasan dalam menentukan batasan-batasan dalam tindakan sehari-hari bagi manusia, ada yang menerangkan tentang baik dan buruk, boleh dan dilarang, maka etika profesi hakim di sini merupakan bagian dari perbuatan yang menjadi fokus bahasan.
Namun al-Qur'an yang menerangkan tentang kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim tidak menjelaskan teori-teori etika dalam arti yang khusus sekalipun menjelaskan konsep etika Islam, tetapi hanya membentuk dasar etika Islam, bukan teori-teori etika dalam bentuk baku.[7] Tetapi masalah yang paling utama adalah bagaimana mengeluarkan ethik Islam yang bersumber dari al-Qur'an yang melibatkan seluruh moral, keagamaan, dan sosial masyarakat muslim guna menjawab semua permasalahan yang timbul baik dari dalam maupun dari luar. 
            Dengan demikian perlu dari kedua sumber tersebut yang pada umumnya memiliki sifat yang umum, karena itu perlu dilakukan upaya-upaya dan kualifikasi agar dipahami sehingga perlu melalui penjelasan dan penafsiran. Permasalahan kehidupan manusia yang semakin kompleks dengan dinamika masyarakat yang semakin berkembang. Maka akan dijumpai berbagai macam persoalan – persoalan terutama masalah moralitas masyarakat muslim, pada masa Nabi Muhammad  yang terbentuk setelah turunnya wahyu al-Qur'an, sehingga masih bisa dikembalikan kepada  sumber al-Qur'an dan penjelasan dari Nabi sendiri. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan keagamaan ketika itu yang dihadapkan dengan masalah budaya, adat dan pola pikir masyarakat yang berkembang saat itu, maka keadaan moralitas menjadi sangat penting dan komplek. 
            Al-Qur'an sendiri menjelaskan tentang etika dengan berdasarkan tiga terma kunci, utama yang merupakan pandangan dunia al-Qur'an. Ketiga terma kunci tersebut adalah iman, Islam, dan taqwa yang jika direnungkan akan memperlihatkan arti yang identik. Istilah iman berasal dari akar kata (ا مّن) yang artinya ”keamanan”, “bebas dari bahaya, “damai”, Islam yang akar katanya (سلم )yang artinya “aman dan integral”, “terlindungi dari disintegrasi dan kehancuran”. Dan taqwa yang sangat mendasar bagi al-Qur'an disamping kedua istilah di atas, yang memiliki akar kata (وقي) juga berarti “melindungi dari bahaya”, “menjaga kemusnahan, kesia-siaan, atau disintegrasi”.[8] Sehingga pembahasan etika yang terdapat dalam al-Qur'an mengandung cakrawala yang luas karena menyagkut nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan manusia baik secara individu, masyarakat dan Negara secara umum demi mencapai kebahagian baik di dunia dan di akhirat.
            Menurut Madjid Fakhri, sistem etika Islam dapat dikelompokkan menjadi empat tipe. Pertama, moral skripturalis. Kedua, etika teleologis. Ketiga, teori-teori etika filsafat. Keempat, etika religius.[9] Dari keempat tipologi etika Islam tersebut, etika religius akan menjadi pilihan sebagai landasan teori yaitu nilai-nilai etika yang didasarkan pada konsep al-Qur'an tentang nilai-nilai etika hukum dalam Islam. Dengan demikian penyusun hanya akan menjelaskan salah satu macam etika yaitu etika religius yang menjadi landasan.
            Etika religius adalah etika yang dikembangkan dari akar konsepsi-konsepsi al-Qur'an tentang manusia dan kedudukannya di muka bumi, dan cenderung melepaskan dari kepelikan dialektika dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam secara utuh.[10] Bahan-bahan etika religius adalah pandangan-pandangan dunia al-Qur'an, konsep-konsep teologis, kategori-kategori filsafat dan dalam beberapa hal sufisme. Karena itu sistem etika religius muncul dalam berbagai bentuk yang kompleks sekaligus memiliki karakteristik yang paling Islami. Diantara eksponennya adalah Hasan al-Basri, al-Mawardi, al-Raghib al-Isfahani, al-Ghazali, dan Fakhruddin ar-Razi. al-Ghazali yang sistem etikanya mencakup moralitas filosofis, teologis, dan sufi, adalah contoh yang paling representatif dari etika religius.[11]
            Sementara kajian epistemologi terhadap nilai-nilai suatu perbuatan, oleh F. Huorani dikelompokkan  menjadi empat aliran, yaitu: Pertama, Obyektifisme; “right” memiliki arti yang obyektif, yaitu suatu perbuatan itu disebut benar apabila terdapat kualitas benar pada perbuatan itu. Aliran ini biasanya dimiliki oleh aliran mu’tazilah dan filsuf muslim. Kedua, Subyektivism; “right” tidak memiliki arti yang obyektif, tetapi sesuai dengan kehendak dan perintah dan ketetapan Allah swt. Tipe ini disebut secara spesifik oleh George F. Huorani dengan theistic subjectivisme atau divine subjectivisme. Terma ini disepadankan oleh George F. Huorani dengan sebutan ethical voluntarism. Ketiga, Rationalism; ‘right” itu dapat diketahui dengan akal semata atau akal bebas. Artinya, akal manusia dinilai mampu membuat keputusan etika yang benar berdasarkan data pengalaman tanpa menunjuk kepada wahyu. Aliran ini dengan pendayaannya terhadap akal disepadankan oleh George F. Huorani dengan kelompok intuitionist. Aliran ini dibagi 2 yaitu: pertama, “right” selalu dapat diketahui oleh akal secara bebas. Kedua, “right” dalam beberapa kasus dapat diketahui oleh akal semata, pada kasus lain diketahui oleh wahyu, sunnah, ijma', dan qiyas, atau dapat diketahui oleh akal dan wahyu dan seterusnya. Aliran ini secara spesifik disebut dengan partial rationalism. Keempat,Traditionalism; “right” tidak akan pernah dapat diketahui dengan akal semata tetapi hanya dapat diketahui dengan wahyu dan sumber-sumber lain yang merujuk kepada wahyu. Menurut George F. Huorani, aliran ini bukan tidak sama sekali tidak memanfaatkan kemampuan akal, tetapi kemampuan akal dipergunakan pada saat menafsirkan al-Qur'an dan sunnah, menetapkan ijma' atau menarik qiyas. Aliran seperti ini biasanya dianut oleh para fuqoha dan mutakallimun.[12]    
            Sedangkan kata-kata profesi sendiri dalam Al-Qur'an disebutkan dengan kata-kata 'aml ( عمل ) yang disebut berulang-ulang, belum lagi dengan penyebutan yang lain atau kiasan lain. Namun ada sebagian orang yang menyebutkan bahwa Islam tidak progresif terhadap budaya kerja. Hal ini karena disebabkan didalam Islam adanya takdir, yang sering dipahami secara negatif atas pemahaman bahwa dalam Islam tidak terlalu penting. Ini bias dari teologi jabariyah (aliran aqidah yang berpendapat bahwa manusia tidak punya faktor atau penentu). Sehingga faktor adanya kemiskinan akibat dari faktor dari teologis ini.[13]

C.     Sistem Etika Islam Dalam Penegakan Hukum
            Sistem etika Islam yang berkembang terlebih dahulu dalam pemahaman agama, sehingga hubungan antara agama dengan etika mempunyai relasi yang erat. Keduanya memang tidak dapat dipisahkan. Keterbatasan kemampuan manusia untuk mamahami ajaran agama menyebabkan perlunya manusia mencari jalan dan  berfikir yang tepat untuk membantu manusia dalam menafsirkan agama, karena tidak semua orang sepakat dalam suatu pendapat. Begitu juga terhadap peristiwa-peristiwa sekarang yang dulunya masih belum menjadi persoalan agama dapat dipecahkan melalui etika dengan memperhatikan ketentuan agama.
            Agama biasanya dipahami semata-mata membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara agama dan hukum. Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari kaedahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama.[14]       Agama di sini menekankan moralitas, perbedaan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri kepada kesejahteraan material dan kurang memperhatikan etika. Terlihat dengan adanya perbedaan antara fungsi antara etika dengan ilmu hukum yaitu etika dalam agama memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang segala perbuatan yang dilarang dan madarat sedangkan ilmu hukum tidak karena banyak perbuatan yang baik dan berguna yang tidak diperintahkan oleh ilmu hukum. Dari fungsi di atas menjadikan etika atau akhlak mendalami gerak jiwa manusia secara batin walaupun tidak menimbulkan perbuatan lahir sedangkan ilmu hukum melihat segala perbuatan yang berakibat kepada lahir.
            Hukum agama sebenarnya merupakan hukum moral "farexcellence", sedangkan menurut Khan : "hukum moral adalah hukum dalam arti sebenarnya.Tidak ada pemisahan total hukum dari moralitas". Oleh karena itu hukum yang dipisahkan dari keadilan dan moralitas bukanlah hukum.[15]
            Dengan demikian etika sangat bermanfaat sekali bagi seorang walaupun pada dasarnya manusia itu sudah bermoral. Manfaat etika itu antara lain agar manusia dapat mengadakan refleksi kritis dalam menghadapi masyarakat yang semakin pluralistik dimana kesatuan normatif sudah tidak ada lagi. Perubahan-perubahan masyarakat karena arus modernisasi mengakibatkan goncangan nilai budaya yang bisa saja berubah dan mana nilai yang tetap dan tidak mungkin berubah. Etika dapat juga membuat kita sanggup menghadapi ideologi yang menawarkan darinya sebagai penyelamat dengan memecahkanya secara kritis dan obyektif. Karena itu dengan etika kita akan dapat memantapkan iman kita.[16]
            Etika Islam sebagai  landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesi dalam hal ini seorang hakim (Qadi) dalam menjalankan profesinya adalah memberi keputusan ( Judgement ) bukan menghadiahkan keadilan dan keputusan yang diberikan harus berdasarkan hukum. Hal ini dalam konsep Islam, profesi hakim harus benar-benar menegakkan etika, dan bagaimana etika yang harus ditegakkan dalam menjalani profesi dalam Islam, atau yang disebut etika profesi dalam Islam.
            Konsep profesi dalam Islam tersebut adalah : [17]
1.    Meletakkan kerja sebagai sebuah amal shaleh yang dilakukan dalam kontek dan tahapan yang runtut atas iman, ilmu, dan amal. Disini kerja terorientasi kepada dua pandangan : aktifitas yang bernilai ibadah dan sebuah aktifitas untuk memperoleh keuntungan financial.
2.    Menunuaikan kerja sebagai suatu penunaian amanah yang harus dilakukan secara professional.
3.    Melakukan kerja dengan wawasan masa depan dan wawasan ukhrawi artinya dalam melakukan kerja, seseorang harus mengingat kepentingan akan hari depannya. [18]
            Dari uraian di atas etika profesi dalam Islam adalah merupakan aktivitas yang bukan hanya bersifat duniawi, melainkan juga sangat ukhrawi. Artinya Islam melibatkan aspek transendental dalam beribadah, sehingga bekerja tidak hanya bisa dilihat sebagai prilaku ekonomi tetapi juga ibadah, sehingga profesi hakim yang dijalani adalah suatu profesi yang profesi yang harus dipertanggung jawabkan di akhirat.
           
            Dalam hadis di sebutkan :
القضاة ثلا ثة : اثنان فىالناروواحد فىالجنة : رجل عرف الحق فقضى به فهوفىالجنة ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار فىالحكم فهوا فىالنار ورجل لم يعرف الحق فقضىللناس على جهل فهوا فى النار[19]
            Hadits} diatas menjelaskan pembagian hakim, sehingga apabila haim tidak menjalankan amanahnya sesuai dengan sistem etika profesi dalam Islam maka termasuk salah satu golongan hakim yang celaka, karena mengimgkari tujuan dari etika profesi hakim yang ada, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan akan tugasnya diakhirat nanti.
            Hal ini diungkapkan oleh al-Ghazali, bahwa tujuan etika dalam Islam berpangkal dari pengabdian sepenuhnya pada Tuhan. Pemikiran etika al-Ghazali sangat menekankan pada keselamatan individu baik di dunia sekarang maupun di akhirat nanti. Adanya kewajiban bagi manusia pada hakekatnya dimaksudkan untuk keselamatan individu.[20]

D.    Prinsip-prinsip Peradilan Dalam Nilai Etika Islam
Setelah dijelaskan landasan dan hubungan etika agama dalam penegakkan hukum, selanjutnya akan dipaparkan suatu konsep dari suatu paradigma etika profesi  yang dikontruksi  dari nilai-nilai atau prinsip-prinsip etika profesi hakim dari lintasan sejarah secara normatif. Seperti dikatakan A. Hanafi, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep tauhid.[21] Oleh karena itu bagi seorang hakim dalam melaksanakan profesinya harus taat pada prinsip-prinsip peradilan yang telah yang telah digariskan oleh al-Qur'an, sebagai pertimbangan dalam menjalani profesinya, karena ketaatan terhadap prinsip-prinsip akan memberikan jaminan terhadap terlaksananya tujuan hukum.
Dalam lintasan sejarah peradailan Islam, Umar Bin Khattab mengatakan ada sepuluh macam prinsip peradilan yang harus dijadikan pedoman pelaksanaan peradilan, prinsip tersebut dinamakan Risala>latul Qad}a> Umar, prinsip tersebut adalah :



                [1] Salihun A Nasir, Tinjauan Akhlak, cet. ke-1, (Surabaya : al-Ikhlas, 1991), hlm.14.
[2] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), alih bahasa Farid Ma’ruf, cet. ke-8,   (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 3. lebih jauh pada hlm. 5, beliau menjelaskan bahwa pokok persoalan yang dapat diniali “baik dan buruk” adalah segala perbuatan yang timbul dari orang yang melakukan dengan ikhtiar dan sengaja, dan ia mengetahui waktu melakukannya.
                [3] A. Mustofa,  Akhlak Tasauf,  cet. ke-1, (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hlm.149.
                [4] Sidiktono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah dan Akhlak Dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 1998), hlm. 89.
                [5] Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xv-xvi.
                [6] M. Abdul Quasem, Etika Al-Ghazali Etika Majemuk Di Dalam Islam, cet. ke-1, (Bandung : Pustaka, 1988), hlm.10.
                [7]  Majid Fakhry, Etika Dalam Islam.,hlm. xv.
[8] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlurrahman, Taufiq Adnan Amal (peny.) (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66.
                [9] Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, alih bahasa Zakiyuddin Baidawi, cet. ke-1 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hlm. xxi-xxiii
[10] Ibid., hlm. 68.
[11] Majid Fakhry, Etika dalam Islam., hlm. xxi – xxiii.
[12] Amril M., "Studi Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani (w.+ 1108 M)," disertasi  IAIN Sunan Kalijaga, (2001), hlm. 25-27.
                [13]  Sidik Tono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah dan Akhlak Dalam Islam, cet. ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 1998), hlm.133-134.
                [14] Muhammad Muslehuddin, penerj. Yudian Wahyudi Amin, Filsaafat Hukum Islam dan pemikiran orientalis Studi Perbandingan, cet. ke-3, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997). hlm. 70.
                [15] Ibid., hlm. 70.
[16] Frans Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 15-16.
                [17] Sidiktono, dkk, ed. Ainur Rahim Faqih dan Amir Muallim, Ibadah., hlm. 138.
                [18] Sementara itu yang dimaksud dengan bekerja dengan wawasan ukhrawi adalah dalam melaksanakan sebuah profesi seorang muslim harus merasakan semua akibat  diakhirat nanti. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh Melakukan kecurangan dan tindakan yang dilarang atau diharamkan dalam menyelesaikan sebuah kerja inilah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Islam. Ibid. hlm. 139.
                [19] Al-Hafizh  Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul Ma>ram, Kitab al-Qod}o, Hadis} nomor 1 (Semarang : Toha Putra, tt), hlm.315.
[20] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, alih bahasa Hamzah, cet. ke-1, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 202-205.
[21] A. Hanafi mengemukakan bahwa tauhid adalah percaya tentang wujud Tuhan yang esa, yang tidak ada sekutu bagiNya, baik zat, zifat maupun perbuatanNya. Lihat A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 12.

1 komentar:

Benar memang, masalah hakim seperti pada artikel ini perlu disebarkan seluas-luasnya mengingat berbagai masalah moral hakim yang kian menurun.

Posting Komentar